Sudah banyak ahli kebudayaan yang
membahas tentang sejarah keberadaan dan perkembangan keris dan tosan aji
lainnya. G.B. GARDNER pada tahun 1936 pernah berteori bahwa keris adalah
perkembangan bentuk dari senjata tikam zaman prasejarah, yaitu tulang ekor
atau sengat ikan pari dihilangkan pangkalnya, kemudian dibalut dengan kain
pada tangkainya. Dengan begitu senjata itu dapat digenggam dan dibawa-bawa.
Maka jadilah sebuah senjata tikam yang berbahaya, menurut ukuran kala itu.
Sementara itu GRIFFITH WILKENS pada
tahun 1937 berpendapat bahwa budaya keris baru timbul pada abad ke-14 dan
15. Katanya, bentuk keris merupakan pertumbuhan dari bentuk tombak yang
banyak digunakan oleh bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan antara Asia dan
Australia. Dari mata lembing itulah kelak timbul jenis senjata pendek atau
senjata tikam, yang kemudian dikenal dengan nama keris. Alasan lainnya,
lembing atau tombak yang tangkainya panjang, tidak mudah dibawa kemana-mana.
Sukar dibawa menyusup masuk hutan. Karena pada waktu itu tidak mudah orang
mendapatkan bahan besi, maka mata tombak dilepas dari tangkainya sehingga
menjadi senjata genggam.
Lain lagi pendapat A.J. BARNET KEMPERS.
Pada tahun 1954 ahli purbakala itu menduga bentuk prototipe keris merupakan
perkembangan bentuk dari senjata penusuk pada zaman perunggu. Keris yang
hulunya berbentuk patung kecil yang menggambarkan manusia dan menyatu dengan
bilahnya, oleh Barnet Kempers bukan dianggap sebagai barang yang luar biasa.
Katanya, senjata tikam dari kebudayaan
perunggu Dong-son juga berbentuk mirip itu. Hulunya merupakan patung kecil
yang menggambarkan manusia sedang berdiri sambil berkacak pinggang (
malang-kerik,
bahasa Jawa). Sedangkan senjata tikam kuno yang pernah ditemukan di
Kalimantan, pada bagian hulunya juga distilir dari bentuk orang berkacak
pinggang.
Perkembangan bentuk dasar senjata tikam
itu dapat dibandingkan dengan perkembangan bentuk senjata di Eropa. Di benua
itu, dulu, pedang juga distilir dari bentuk menusia dengan kedua tangan
terentang lurus ke samping. Bentuk hulu pedang itu, setelah menyebarnya
agama Kristen, kemudian dikembangkan menjadi bentuk yang serupa salib.
Dalam kaitannya dengan bentuk keris di
Indonesia, hulu keris yang berbentuk manusia (yang distilir), ada yang
berdiri, ada yang membungkuk, dan ada pula yang berjongkok, Bentuk ini
serupa dengan patung megalitik yang ditemukan di Playen, Gunung Kidul,
Yogyakarta. Dalam perkembangan kemudian, bentuk-bentuk itu makin distilir
lagi dan kini menjadi bentuk hulu keris (Di Pulau Jawa disebut
deder,
jejeran, atau
ukiran) dengan ragam hias
cecek, patra gandul,
patra ageng, umpak-umpak, dlsb.
Dalam sejarah budaya kita, patung atau
arca orang berdiri dengan agak membungkuk, oleh sebagian ahli, diartikan
sebagai lambang orang mati. Sedangkan patung yang menggambarkan manusia
dengan sikap sedang jongkok dengan kaki ditekuk, dianggap melambangkan
kelahiran, persalinan, kesuburan, atau kehidupan. Sama dengan sikap bayi
atau janin dalam kandungan ibunya.
Ada sebgian ahli bangsa Barat yang
tidak yakin bahwa keris sudah dibuat di Indonesia sebelum abad ke-14 atau
15. Mereka mendasarkan teorinya pada kenyataan bahwa tidak ada gambar yang
jelas pada relief candi-candi yang dibangun sebelum abad ke-10. SIR THOMAS
STAMFORD RAFFLES dalam bukunya
History of Java (1817) mengatakan,
tidak kurang dari 30 jenis senjata yang dimiliki dan digunakan prajurit Jawa
waktu itu, termasuk juga senjata api. Tetapi dari aneka ragam senjata itu,
keris menempati kedudukan yang istimewa.
Disebutkan dalam bukunya itu, prajurit
Jawa pada umumnya menyandang tiga buah keris sekaligus. Keris yang dikenakan
di pinggang sebelah kiri, berasal dari pemberian mertua waktu pernikahan
(dalam budaya Jawa disebut
kancing gelung). Keris yang dikenakan di
pinggang kanan, berasal dari pemberian orang tuanya sendiri. Selain itu
berbagai tata cara dan etika dalam dunia perkerisan juga termuat dalam buku
Raffles itu. Sayangnya dalam buku yang terkenal itu, penguasa Inggris itu
tidak menyebut-nyebut tentang sejarah dan asal usul budaya keris.
Sementara itu istilah ‘keris’ sudah
dijumpai pada beberapa prasasti kuno. Lempengan perunggu bertulis yang
ditemukan di Karangtengah, berangka tahun 748 Saka, atau 842 Masehi,
menyebut-nyebut beberapa jenis sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah
bebas pajak, sesaji itu antara lain berupa
‘kres’, wangkiul, tewek
punukan, wesi penghatap.
Kres yang dimaksudkan pada kedua
prasasti itu adalah keris. Sedangkan
wangkiul adalah sejenis tombak,
tewek
punukan adalah senjata bermata dua, semacam dwisula.
Pada lukisan gambar timbul (relief)
Candi Borobudur, Jawa Tengah, di sudut bawah bagian tenggara, tergambar
beberapa orang prajurit membawa senjata tajam yang serupa dengan keris yang
kita kenal sekarang. Di Candi Prambanan, Jawa Tengah, juga tergambar pada
reliefnya, raksasa membawa senjata tikam yang serupa benar dengan keris. Di
Candi Sewu, dekat Candi Prambanan, juga ada. Arca raksasa penjaga,
menyelipkan sebilah senjata tajam, mirip keris.
Sementara itu edisi pertama dan kedua
yang disusun oleh Prof. P.A VAN DER LITH menyebutkan, sewaktu stupa induk
Candi Borobudur, yang dibangun tahun 875 Masehi, itu dibongkar, ditemukan
sebilah keris tua. Keris itu menyatu antara bilah dan hulunya. Tetapi bentuk
keris itu tidak serupa dengan bentuk keris yang tergambar pada relief candi.
Keris temuan ini kini tersimpan di Museum Ethnografi, Leiden, Belanda.
Keterangan mengenai keris temuan itu ditulis oleh Dr. H.H. JUYNBOHL dalam
Katalog Kerajaan (Belanda) jilid V, Tahun 1909. Di katalog itu dikatakan,
keris itu tergolong ‘keris Majapahit‘, hulunya berbentuk patung orang,
bilahnya sangat tua. Salah satu sisi bilah telah rusak. Keris, yang diberi
nomor seri 1834, itu adalah pemberian G.J. HEYLIGERS, sekretaris kantor
Residen Kedu, pada bulan Oktober 1845. Yang menjadi residennya pada waktu
itu adalah Hartman. Ukuran panjang bilah keris temuan itu 28.3 cm, panjang
hulunya 20,2 cm, dan lebarnya 4,8 cm. Bentuknya lurus, tidak memakai luk.
Mengenai keris ini, banyak yang
menyangsikan apakah sejak awalnya memang telah diletakkan di tengah lubang
stupa induk Candi Borobudur. Barnet Kempres sendiri menduga keris itu
diletakkan oleh seseorang pada masa-masa kemudian, jauh hari setelah Candi
Borobudur selesai dibangun. Jadi bukan pada waktu pembangunannya.
Ada pula yang menduga, budaya keris
sudah berkembang sejak menjelang tahun 1.000 Masehi. Pendapat ini didasarkan
atas laporan seeorang musafir Cina pada tahun 922 Masehi. Jadi laporan itu
dibuat kira-kira zaman Kahuripan berkembang di tepian Kali Brantas, Jawa
Timur. Menurut laporan itu, ada seseorang Maharaja Jawa menghadiahkan kepada
Kaisar Tiongkok
"a short swords with hilts of rhinoceros horn or
gold (pedang pendek dengan hulu terbuat dari dari cula badak atau emas).
Bisa jadi pedang pendek yang dimaksuddalam laporan itu adalah protoptipe
keris seperti yang tergambar pada relief Candi Borobudur dan Prambanan.
Sebilah keris yang ditandai dengan
angka tahun pada bilahnya, dimiliki oleh seorang Belanda bernama Knaud di
Batavia (pada zaman Belanda dulu). Pada bilah keris itu selain terdapat
gamabar timbul wayang, juga berangka tahun Saka 1264, atau 1324 Masehi. Jadi
kira-kira sezaman dengan saat pembangunan Candi Penataran di dekat kota
Blitar, Jawa Timur. Pada candi ini memang terdapat patung raksasa Kala yang
menyandang keris pendek lurus.
Gambar yang jelas mengenai keris
dijumpai pada sebuah patung siwa yang berasal dari zaman Kerajaan Singasari,
pada abad ke-14. Digambarkan dengan Dewa Siwa sedang memegang keris panjang
di tangan kanannya. Jelasini bukan tiruan patung Dewa Siwa dari India,
karena di India tak pernah ditemui adanya patung Siwa memegang keris. Patung
itu kini tersimpan di Museum Leiden, Belanda.
Pada zaman-zaman berikutnya, makin
banyak candi yang dibangun di Jawa Timur, yang memiliki gambaran keris pada
dinding reliefnya. Misalnya pada Candi Jago atau Candi Jajagu, yang dibangun
tahun 1268 Masehi. Di candi itu terdapat relief yang menggambarkan Pandawa
(tokoh wayang) sedang bermain dadu. Punakawan yang terlukis di belakangnya
digambarkan sedang membawa keris. Begitu pula pada candi yang terdapat di
Tegalwangi, Pare, dekat Kediri, dan Candi Panataran. Pada kedua candi itu
tergambar relief tokoh-tokoh yang memegang keris.
Cerita mengenai keris yang lebih jelas
dapat dibaca dari laporan seorang musafir Cina bernama Ma Huan. Dalam
laporannya
Yingyai Sheng-lan di tahun 1416 Masehi ia menuliskan
pengalamannya sewaktu mengunjungi Kerajaan Majapahit.
Ketika itu ia datang bersama rombongan
Laksamana Cheng-ho atas perintah Kaisar Yen Tsung dari dinasti Ming. Di
Majapahit, Ma Huan menyaksikan bahwa hampir semua lelaki di negeri itu
memakai
pulak, sejak masih kanak-kanak, bahkan sejak berumur tiga
tahun. Yang disebut pulak oleh Ma Huan adalah semacam belati lurus atau
berkelok-kelok. Jelas ayang dimaksud adalah keris.
Kata Ma Huan dalam laoparan itu:
These
daggers have very thin stripes and within flowers and made of very best
steel; the handle is of gold, rhinoceros, or ivory, cut into the shapeof
human or devil faces and finished carefully.
Laporan ini membuktikan bahwa pada
zaman itu telah dikenal teknik pembuatan senjata tikam dengan hiasan pamor
dengan gambaran garis-garis amat tipis serta bunga-bunga keputihan. Senjata
ini dibuat dengan baja berkualitas prima. Pegangannya, atau hulunya, terbuat
dari emas, cula badak, atau gading.
Tak pelak lagi, tentunya yang
dimaksudkan Ma Huan dalam laporannya adalah keris yang kita kenal sekarang
ini.